BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Studi
perbandingan hukum pidana pada dasarnya memperbandingkan berbagai sistem hukum
yang ada. Dalam Black’s Law Dictionary di definisikan: “Comparative
Jurisprudence is the study of the principles of legal science by the comparison
of various systems of law” dalam hal ini yang diperbandingkan adalah dua atau
lebih sistem hukum yang berbeda.Hukum pidana positif Indonesia ialah berasal
dari keluarga hukum CivilLaw System yang mementingkan sumber hukum dari
peraturan perundangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Sementara Inggris
menganut sistem hukum Common Law System yang mengutamakan kebiasaan yang
berlaku di sana. Kebiasaan tersebut dapat berupa Norma maupun putusan-putusan
hakim sebelumnya. Selain perbedaan seperti yang tersebut diatas, kedua sistem
hukum pidana kedua negara sebenarnya memiliki kesamaan. Di Indonesia dikenal
hukum pidana adat yang sampai saat ini masih diakui dan dipakai dalam
masyarakat. Dilihat dari sumber
hukumnya, sebenarnya hukum pidana adat tersebut berasal dari kebiasaan yang
berlaku dimasyarakat. Hal tersebut sama halnya dengan sumber hukum common law
yang berasal dari kebiasaan yang ada di masyarakat. Setiap sistem hukum, pasti
memiliki asas-asas yang kemudian dijabarkan dalam aturan-aturan hukumnya. Salah
satu asas hukum yang sangat penting dan dimiliki oleh setiap sistem hukum
adalah asas legalitas atau dikenal juga dengan asas “Nullum delictum, nulla
poena, sina praevia lege poenali”
B. Permasalahan
1. Bagaimana
Perbedaan Asas Legalitas Hukum Pidana di Indonesia dengan di Inggris ?
2. Apakah
Asas Strict liability di Indonesia sama dengan strict liability di inggris
?
3. Apakah
Perbedaan Sistem Peradilan Hukum Pidana Indonesia dengan di Inggris ?
.BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perbandingan
Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia
Dengan Asas Legalitas Inggris
a. Asas
Legalitas di Indonesia
Asas
legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi :”tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari
pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam
undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan
asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk
diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu
termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan
pembatasan-pembatasan tertentu.Selain itu KUHP Indonesia juga melarang adanya
analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang.
b. Asas
Legalitas Di Inggris
Asas
Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan
dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan.
Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa
dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House
of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan
delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran
dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian
pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common law
(hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam
perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law).
Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum
tidak tertulis (yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim
menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim
terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari
perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent). Sumber hukum utama adalah
putusan hakim (yurisprudensi).
Sehingga dari kedua Asas diatas
dapat diketahui perbedaannya yaitu:
1. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris
adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang
mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim
(yurisprudensi). Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris
biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim.
2. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia
adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang
mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana
Indonesia tetap bersumber menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B.
Perbandingan
Asas Strict Liability Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Inggris
a.
Asas Stict Liability Indonesia
Dalam
perkembangan hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula
tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada
pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan.
Cukuplah apabiIa dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan
actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau
tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak
pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering
dikenal juga sebagai offences of absolute
prohibition. Strict liability
disebut juga absolute liability. Istilah dalam bahasa Indonesia yang saya
gunakan adalah "pertanggung jawaban mutlak". Mardjono Reksodiputro
dalam salah satu tulisannya diterapkannya asas strict liability di Indonesia
yang menganut system Eropa Continental, yaitu “Berhubung kita tidak mengenal
ajaran Strict liability yang berasal dari system hukum Anglo-Amerika tersebut,
maka sebagai alasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang
berasal dari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran ini tidaklah
penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liability hanya dipergunakan
untuk tindak pidana ringan. Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability
sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran Ialu lintas. Para pengemudi
kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti
pada waktu lampu lalu lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyaIa,
akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan di sidang di pengadilan. Hakim
dalam memutuskan hukunan atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada
tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu.
Pada Pasal 211 KUHAP pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan
tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan nyata seketika itu, karena tidak
mungkin dipungkiri lagi oleh pelanggar. Berita acara yang ditiadakan diganti
dengan bukti pelanggaran lalu lintas tertentu disingkat TILANG yang diisi oleh
penegak hukum (POLRI Satuan Lalu Lintas). Oleh karena itu, tidak berlaku juga
bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat
tindakan pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak
pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini
dikenal sebagai asas "strict liability"
b.
Asas Strict Liability Inggris
Walaupun
pada prinsipnya berlaku asas Mens Rea , namun di Inggris ada delik – delik yang
tidak mensyaratkan adanya Mens Rea (berupa intention, recklessness, atau
negligence). Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan
perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang – undang tanpa melihat bagaimana
sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut strict liability yang sering
diartikan secara singkat liability without fault (pertanggungjawaban tanpa
kesalahan). Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam
delik:
1.
Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi
jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
2.
Criminal libel (penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik)
3.
Contempt of Court (pelanggaran tata tertib di pengadilan)
Misalnya : mengancam Jaksa, hakim dan Saksi.
Prinsip
pertanggungjawaban mutlak (strict Liability) merupakan prinsip pertanggung
jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari
sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini
Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan,
bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability
jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau
tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala
kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban
hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan
kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai
tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam
kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum
dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak
dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko
potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang
dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law,
walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya.
Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda,
Thailand.
C.
Perbedaan Sistem
Peradilan Pidana Inggris dengan Sistem Pidana Indonesia
a.
Sekilas Sistem Peradilan Pidana Inggris
Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara
ringan di Inggris dilakukan oleh Polisi sendiri (Police Prosecutor). Sedangkan
perkara yang agak berat dilakukan oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan
perkara-perkara yang berat disidangkan di pengadilan tinggi (tingkat banding) dengan
penuntut Umum pengacara yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang
menentukan apakah perkara yang disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau
tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown Prosecution Secvice (CPS). Dan di
Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown Prosecutor,
senior Crown Prosecutor, Assistant branch CPS, Branch prosecutor (di Indonesia
setingkat Kepala Kejaksaan Negeri), dan Chief Prosecutor (setingkat Kepala
Kejaksaan tinggi).
Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari :
Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari :
a) Custom, merupakan sumber
hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad
pertengahan yang melahirkan Common Law. Sehingga sistem hukum Inggris disebut
juga sistem anglo saxon.
b) Legislation/statute,
berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen.
c)
Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang
berkembang di masyarakat melalui putusan hakim yang kemudian diikuti oleh hakim
berikutnya melahirkan asas precedent.
Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat
atau kebiasaan masyarakat (custom) yang dikembangkan berdasarkan putusan
Pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku asas STARE
DECISIS atau ASAS BINDING FORCE OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim untuk
mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus
diikuti dan mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai
ratio decidendi sedangkan hal selebihnya yang disebut obiter dicta tidak
mengikat.
Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman (vonis)nya .
Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam (right to remain silent). Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di dunia (civil law dan common law) ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut.
Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman (vonis)nya .
Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam (right to remain silent). Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di dunia (civil law dan common law) ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut.
b.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu Di Indonesia
Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) atau Undang-undang No.8 tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu:
Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) atau Undang-undang No.8 tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu:
1. Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian.
2. Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut
Umum atau Kejaksaan.
3. Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau
Hakim.
4. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat
pelaksana eksekusi (jaksa dan lembaga pemasyarakatan).
No
|
Variabel
|
Indonesia
|
Inggris
|
1.
|
Pengadilan superior dan
inferior (strata tingkatan pengadilan dari yang paling tinggi)
|
a.Mahkamah Agung;
b.Pengadilan tinggi;
c.Pengadilan negeri.
|
a.House of lords;
b.Mahkamah agung;
c.Pengadilan banding;
d.Pengadilan tinggi;
e.Pengadilan kerajaan;
f.Pengadilan magistrate.
|
Keempat subsistem itu merupakan satu
kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan
istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana
terpadu. Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP maka
keempat komponen penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga agar sistem berjalan secara
terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana
telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita
anut, Undang-undang merupakan sumber hukum tertinggi. Karena disana (dalam
Hukum Acara Pidana) telah diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum
dalam subsistem peradilan pidana terpadu maupun hak-hak dan kewajiban
tersangka/terdakwa.
Perbedaan
Pengadilan Indonesia dan Inggris
No
|
Variabel
|
Indonesia
|
Inggris
|
2.
|
Pembagian pengadilan
berdasarkan yurisdiksi khusus
|
a.Peradilan umum;
b.Peradilan agama;
c.Peradilan tata usaha negara;
d.Peradilan militer
|
a.Peradilan koroner;
b.Peradilan militer;
c.Peradilan ketenagakerjaan;
d.Peradilan imigrasi;
e.dll
|
3.
|
Pembagian daerah
hukum
|
Terdapat pembagian
daerah hukum berdasarkan administrasi wilayah
|
Tidak terdapat
pembagian daerah hukum
|
4.
|
Jumlah hakim yang
memeriksa perkara
|
Hakim majelis
|
Umumnya menggunakan
hakim tunggal
|
5.
|
Sistem pembuktian
|
Pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif
|
Berdasarkan keyakinan
belaka (conviction in time)
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
Uraian Pembahasan diatas maka dapat disimpulkan Bahwa Perbedaan yang sangat
mencolok yang dapat dilihat antara Hukum pidana Indonesia dengan inggris yaitu
dapat kita lihat melalui asas legalitas dari masing-masing dimana asas
legalitas Negara inggris bersumber kepada yurisprudensi hakim, sedangkan di
Indonesia bersumber pada undang-undang yang berlaku. Dan juga asas strict
liability kedua Negara dimana di Negara inggris unsur kesalahan tidak dapat
diberikan apa bila tidak ada pada dirinya, sedangkan di Indonesia unsur
kesalahan sudah diberikan apabila telah terbukti melakukan suatu kesalahan. Dan
yang terakhir dalam system peradilan pidana Indonesia identik dengan penegakan
hukum pidana yang mempunyai kekuasaan dan kewenangnan dalam menegakan hukum
pidana. Yang terdapat 4 subsistem yaitu, kekuasaan penyidikan, kekuasaan
penuntutan, kekuasaan mengadili dan kekuasaan pelaksanaan hukuman. Sedangkan
dalam system peradilan pidana di inggris putusan pengadilan mempunyai kedudukan
yang sangat kuat. Dan putusan hakim mengikat untuk hakim selanjutnya.
B.
Saran
Dengan
membandingkan hukum pidana Negara Indonesia dengan Inggris. Indonesia sebagai
Negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan keadilan hukum, perlu meniru
tata cara pengambilan putusan dalam penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Prof. Nawawi Arief, Barda, S.H. Perbandingan Hukum Pidana ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010
)
Ø Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta : Balai Pustaka.
Ø E. Y. Kanter, S. R. Sianturi, Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan
penerapannya ( Jakarta : Alumni
AHM-PTHM, 1982 )
Ø Andi
Hamzah, KUHP & KUHAP Indonesia
www.Google Cendekia.com